Kamis, 10 Januari 2013

halaman 4


          “Aku suka kopi loh”, ungkapmu sambil tersenyum pada ku memecah keheningan kita. Aku hanya tersenyum, entahlah bagaimana aku merespon pernyataan mu itu. Jujur baru sekali ini aku merasa sebegini canggung terhadap cewek. Terakhir kali aku merasa canggung saat aku masih duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama. Enah kalau berada di dekat cewek pasti aku langsung gemetar dan paling ngak keringat dingin tambah ngak bisa ngomong. “Aku suka berpetualang tau”, sahutmu lagi sambil tersenyum padaku.
          “Heheheehe... aku ga terlalu suka, tapi aku sering kok berpetualang, pengennya sih backpack keliling jawa seru banget kan ya ?”, jawabku.
          “Asik ya ?, naik gunung juga asik loh”
          “Aku ngak kuat naik gunung”.

          Kami berdua pun tertawa. Entah apa yang ada di pikiran ku hingga aku begitu menyukaimu saat tertawa dan tersenyum. Kopi ini sehangat senyuman dan tawamu, kopi ini juga sehangat tatapan mata mu.
          Suara wajan bapak tukang nasi goreng di samping kosan inipun turut meramaikan keindahan malam ini. Walaupun malam ini tanpa bintang dan bulan ditambah rinai gerimis, aku sudah cukup bahagia ditemani bayang senyummu di otak ini.
          Lama kota ini tak diguyur hujan yang sangat indah seperti sekarang, terakhir kali adalah satu tahun yang lalu, saat aku menyukai seseorang yang lain.
          Tak cantik memang, tapi ia sama sepertimu, menghangatkan. Menghangatkan setiapku melihatnya, menghangatkan jiwa. Tak banyak wanita yang menghangatkan, menghangatkan sepertimu. Ibuku, kamu, dan dia dulu, tiga wanita yang sangat menghangatkan ku.
          Sampai sekarangpun bila ditanya kenapa aku bisa begitu mencintai kalian, aku tak akan mampu menjawab kecuali kaliam menghangatkanku.
          Dia dulu sangat menghangatkan, hingga dia berubah begitu beku sampai dingin. Seperti es, bahkan lebih beku dari itu. Lelah, bosan, hingga tolol ku dibuatmu. Lelah hati menunggu hatimu, bosan rasaku mencintaimu, hingga tolol ku berbuat karenamu.
          Dipenghujung rasa ini denganmu, akhirnya kau datang membawa secangkir harapan. Maaf, aku sudah terlalu haus hingga tak mau lagi untuk minum dari cangkir manapun.
          Hanya sakit sampai saat ini yang dapat terutara bila melihat fisikmu, dan mendengar suaramu saat ini.
***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar