Kumandang azan zhuhur membangunkanku dari lelap, segera kusadarkan diri
dan mengambil air wudhu untuk menghadap sang kuasa. Aku pun dulu sempat merasa
heran kenapa kita harus sholat, kenapa kita harus berdoa. Ternyata hanya waktu
yang dapat menjawab semua pertanyaan konyol dari otakku yang lugu tersebut.
Bagaimana kita tidak
berterimakasih atas apa yang Tuhan berikan kepada kita secara percuma?.
Bagaimana kita dapat menghargai apa yang Dia berikan tanpa harus kita balas
kebaikan-Nya?. Ya hanya dengan sholatlah kita dapat berterima kasih pada-Nya
dan hanya dengan berdoalah kita dapat menghargai segala apa yang telah
diberikan-Nya.
Selepas menunaikan kewajiban, kembali
ku duduk di balkon kosan, menatap orang yang
lalulalang ada yang mencari makanan, ada yang bapak- bapak yang baru
pulang dari masjid, ada segerombolan anak anak yang kejar- kejaran.
Entahlah kenapa hari ini hatiku hanya
ingin berpetualang saja, ingin melangkah jauh, ingin menikmati dunia hari ini,
ingin menikmati angin berhembus, burung berkicau, mendung yang teduh, suara
langkah yang mendamaikan, hilir mudik manusia, kendaraan lalu lalang, tak lupa
mengingat senyumanmu malam itu.
“Jadi kamu pengen backpack keliling
jawa ya ?”. tanyanya setelah menyeruput kopi.
“Iya. Sebulanan dengan modal satu juta
cukup ga ya ?”
Dia tersenyum dan meminum kopinya
lagi. Entahlah, begitu cantik bila kau begitu, tersenyum seraya menyeruput kopi
hitam mu. Sejenak ku memandang kopi dan matamu hampir serupa, sama hitamnya,
lebih indah dari mutiara hitam yang pernah ku liat sekalipun.
Siang ini tak terlalu terik, mentari
bersembunyi di balik awan mendung. Beginilah gambaran kota malang pukul
setengah satu saat musim hujan.
“Tau ga, klo aku keluar kosan, pasti
aku liat gunung, tinggi lah, tapi ga tu namanya apa”. Kataku.
“kosan mu di mana emang ?”.
“kerto”
“aku ga tau tuh”. Jawabmu, dan kau
tertawa.
Akupun ikut tertawa. Entah kenapa, tak
lucu sama sekali, tapi aku ingin tertawa. Bahagia, atau tertawa karena suka?.
Akupun tak tau kenapa tertawa lepas seperti ini, sama seperti mu.
Lama ku duduk dalam lamunan sambil
menatapi gunung yang pernah ku katakan padamu saat itu dari atas balkon ini.
Aku mulai memasuki kehidupan seperti biasa, kamar, kasur pena dan kertas. Tapi
entak kenapa aku ingin mengganti kamar dan kasur menjadi, pohon, kerumunan,
burung dan bangku.
Belum sampai ku dikamar aku mulai
bergegas mengambil mp3 player kesayanganku, headphone, sengaja ku tinggal
handphone, agar ku bisa berkonsentrasi disana, aku mengambil tas, ku muat
dengan binder dan pena agar ku dapat menulis cerita sore ini.
Kulangkahkan kaki ke alun- alun kota
Malang, sengaja ku pilih tempai itu, sudah satu tahun aku tak pernah lagi ku
duduk di bangku biasa aku menulis saat ku mencintai dia dulu.
Sesampai di sana tepat pukul dua, tapi
tak terlalu panas karena sang mentari masih malu, Dia lebih memilih tetap
bersembunyi di balik si mendung. Aku duduk di bangku seperti biasa, mengambil
binder dan pena, agar aku bisa menulis cerita sore ini ditemani senyum dan tawamu.
Lama ku tak menikmanti bangku ini dengan
rasa cinta seperti ini, lama ku tak menikmati bangku ini dengan menulis cerita sore
dibayangi senyum dan tawa yang menghangatkan. Sambil di temani lagu Ipank “Bintang
Hidupku”, ku mulai menulis cerita sore ini.
Semilir angin menerpa kulit, burung burung
dara hilir mudik, orang- orang berlalu lalang, indah soreku bangku ini, mendung,
semendung hati ku yang selalu memikirkanmu, mendung semendung hati ini berharap
kita dipertemukan lagi. Tapi tetap saja indah karna senyummu yang tak terlupakan.
Pernah ga kamu duduk di sini, menatap orang-
orang disekitarmu, menikmati angin berhembus diantara rambut dan telinga, menghasilkan
suara yang hanya kamu yang dapat mendengarkannya?.
Tenang. Lebih tenang saat aku berada di
ranjangku. Lama tak merasa seperti ini, rasa seperti satu tahun lalu, yang ketika
ia hancur membuatku enggan kembali duduk kembali disini.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar