Rabu, 16 Januari 2013

halaman 6



          Kumandang azan zhuhur membangunkanku dari lelap, segera kusadarkan diri dan mengambil air wudhu untuk menghadap sang kuasa. Aku pun dulu sempat merasa heran kenapa kita harus sholat, kenapa kita harus berdoa. Ternyata hanya waktu yang dapat menjawab semua pertanyaan konyol dari otakku yang lugu tersebut.
          Bagaimana kita tidak berterimakasih atas apa yang Tuhan berikan kepada kita secara percuma?. Bagaimana kita dapat menghargai apa yang Dia berikan tanpa harus kita balas kebaikan-Nya?. Ya hanya dengan sholatlah kita dapat berterima kasih pada-Nya dan hanya dengan berdoalah kita dapat menghargai segala apa yang telah diberikan-Nya.
          Selepas menunaikan kewajiban, kembali ku duduk di balkon kosan, menatap orang yang  lalulalang ada yang mencari makanan, ada yang bapak- bapak yang baru pulang dari masjid, ada segerombolan anak anak yang kejar- kejaran.

          Entahlah kenapa hari ini hatiku hanya ingin berpetualang saja, ingin melangkah jauh, ingin menikmati dunia hari ini, ingin menikmati angin berhembus, burung berkicau, mendung yang teduh, suara langkah yang mendamaikan, hilir mudik manusia, kendaraan lalu lalang, tak lupa mengingat senyumanmu malam itu.
          “Jadi kamu pengen backpack keliling jawa ya ?”. tanyanya setelah menyeruput kopi.
          “Iya. Sebulanan dengan modal satu juta cukup ga ya ?”
          Dia tersenyum dan meminum kopinya lagi. Entahlah, begitu cantik bila kau begitu, tersenyum seraya menyeruput kopi hitam mu. Sejenak ku memandang kopi dan matamu hampir serupa, sama hitamnya, lebih indah dari mutiara hitam yang pernah ku liat sekalipun.
          Siang ini tak terlalu terik, mentari bersembunyi di balik awan mendung. Beginilah gambaran kota malang pukul setengah satu saat musim hujan.
          “Tau ga, klo aku keluar kosan, pasti aku liat gunung, tinggi lah, tapi ga tu namanya apa”. Kataku.
          “kosan mu di mana emang ?”.
          “kerto”
          “aku ga tau tuh”. Jawabmu, dan kau tertawa.
          Akupun ikut tertawa. Entah kenapa, tak lucu sama sekali, tapi aku ingin tertawa. Bahagia, atau tertawa karena suka?. Akupun tak tau kenapa tertawa lepas seperti ini, sama seperti mu.
          Lama ku duduk dalam lamunan sambil menatapi gunung yang pernah ku katakan padamu saat itu dari atas balkon ini. Aku mulai memasuki kehidupan seperti biasa, kamar, kasur pena dan kertas. Tapi entak kenapa aku ingin mengganti kamar dan kasur menjadi, pohon, kerumunan, burung dan bangku.
          Belum sampai ku dikamar aku mulai bergegas mengambil mp3 player kesayanganku, headphone, sengaja ku tinggal handphone, agar ku bisa berkonsentrasi disana, aku mengambil tas, ku muat dengan binder dan pena agar ku dapat menulis cerita sore ini.
          Kulangkahkan kaki ke alun- alun kota Malang, sengaja ku pilih tempai itu, sudah satu tahun aku tak pernah lagi ku duduk di bangku biasa aku menulis saat ku mencintai dia dulu.
          Sesampai di sana tepat pukul dua, tapi tak terlalu panas karena sang mentari masih malu, Dia lebih memilih tetap bersembunyi di balik si mendung. Aku duduk di bangku seperti biasa, mengambil binder dan pena, agar aku bisa menulis cerita sore ini ditemani senyum dan tawamu.
          Lama ku tak menikmanti bangku ini dengan rasa cinta seperti ini, lama ku tak menikmati bangku ini dengan menulis cerita sore dibayangi senyum dan tawa yang menghangatkan. Sambil di temani lagu Ipank “Bintang Hidupku”, ku mulai menulis cerita sore ini.
          Semilir angin menerpa kulit, burung burung dara hilir mudik, orang- orang berlalu lalang, indah soreku bangku ini, mendung, semendung hati ku yang selalu memikirkanmu, mendung semendung hati ini berharap kita dipertemukan lagi. Tapi tetap saja indah karna senyummu yang tak terlupakan.
          Pernah ga kamu duduk di sini, menatap orang- orang disekitarmu, menikmati angin berhembus diantara rambut dan telinga, menghasilkan suara yang hanya kamu yang dapat mendengarkannya?.
          Tenang. Lebih tenang saat aku berada di ranjangku. Lama tak merasa seperti ini, rasa seperti satu tahun lalu, yang ketika ia hancur membuatku enggan kembali duduk kembali disini.
***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar