Rabu, 16 Januari 2013

halaman 5


          Aku kembali masuk ke kamar kosanku dan langsung merebahkan tubuh keranjang yang sangat empuk hingga punggungpun terasa sakit.
          Kupejamkan mata dan berharap lelap menjemput sambil mendengar alunan gitar “Romance de amore”.
          Hangat pagi membangunkan ku, seraya menyambutku dengan senyum indahnya dan aku belum pernah menatap indahnya pagi dikota ini, aku tak pernah bersyukur telah dapat menginjakan kaki ke kota yang dipenuhi dengan remaja rantauan seperti aku yang ingin mencuri ilmu disini dan membawaya pulang ke daerah asal masing- masing untuk diterapkan disana.

          Saat itu pun aku beranjak dari ranjang ku, mengambil handuk dan membersihkan diri, berusaha menghadapi pagi yang indah ini. Waktu menunjukan pukul tujuh dan aku bersiap melangkahkan kaki menuruni tangga dan menginjakan kaki ke bumi untuk pertama kalinya di pagi hari ini. Sejenak terpikir untuk mengurungkan niat untuk memulai petualangan, tapi keinginan yang kuatlah yang menang.
          Mulai kulangkahkan kaki menyusuri gang kos- kosanku, ku sapa tukang bakso langganan ku, yah memang kota ini terkenal dengan kota bakso. Sejuk ku rasa udara pagi ini, tapi telah dirusak dengan pikiranku yang selalu pesimis. Tanpa sadar aku telah berjalan lebih dari empat kilometer jauhnya dari kos ku.
          Seperti biasa aku bertemu dengan serentetan kuda besi yang saling salip- menyalip diantara mobil- mobil mewah milik orang berada. Sang pejalan kaki yang sibuk dengan smartphone di genggamannya, hingga tersandung karena terlalu sibuk tersenyum sembil menatapnya.
          Aku mulai berfikir sekarang dunia semakin hari semakin aneh saja, banyak manusia yang berbicara sendiri, tersenyum sendiri, hingga tidak memperhatikan dunia. Meraka hanya peduli terhadap dunia yang dibuat dari berbagai macam komponen elektrik yang disambung melalui benda yang ada di atas langit bumi, menciptakan ruang tersendiri diantara komunitas tertentu, mengenal orang yang tidak pernah dikenal sebelumnya tapi, menjauh dari orang yang telah lama dikenalnya.
          Sambil memandang semua keganjilan itu, ku melepaskan senyuman ku kepada mereka meski yakin bahwa tidak ada tanggapan dari mereka yang terlalu sibuk itu. Lelah kaki melangkah, akhirnya aku duduk di trotoar perempatan jalan yang padat itu tanpa peduli apa yang akan mereka pikirkan tentangku.
          Tuhan memang adil kataku. Semua Dia ciptakan dengan maksud dan tujuan yang indah, serta disusun dari oleh skenario kehidupan yang sangat kompeks menurutku, dan hanya Dia lah yang dapat mensutradarai drama kehidupan tersebut, dengan bantuan malaikat sebagai kameramennya serta manusia sebagai aktor yang terlibat dalam drama kehidupan yang kompleks itu. Ada peran antagonis dan protagonis, tanpa ada pemeran pembantu. Ya mereka menjadi pemeran utama dari alur cerita yang telah Tuhan tuliskan sebelum mereka di lahirkan di panggung dunia ini.
          Hebatnya lagi kita dapat berimprovisasi dengan skenario yang Dia buat, karena Dia tau bahwa sehebat apapun kita berimprovisasi, pasti hasil akhirnya akan sama seperti skenario gubahan-Nya. Ada drama percintaan, dan disaat yang bersamaan ada drama tentang kerasnya mencari uang, ada drama perjuangan menuntut ilmu, serta berbagai macam drama yang telah di konsepkan Tuhan di perempatan ini waktu itu.
          Dan aku terus melemparkan senyum mengingat semua pelajaran di pagi ini. Ku beranjak dari trotoar perempatan itu, dan mulai melangkahkan kaki ke tempat paling nyaman di perantauan ini.
          Aku pun kembali berhadapan dengan ranjang,  meja belajar, kursi belajarku, lemari pakaian yang sudah miring kekiri, dispenser tanpa air dan laptop ku. Ku rebahkan kepala keranjang ku. Ku pejamkan mata ku agar dapat mengusir lelah ku dan menunggu datangnya lelap menjemput.
***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar