Aku kembali masuk ke kamar kosanku dan
langsung merebahkan tubuh keranjang yang sangat empuk hingga punggungpun terasa
sakit.
Kupejamkan mata dan berharap lelap menjemput
sambil mendengar alunan gitar “Romance de amore”.
Hangat pagi membangunkan ku, seraya menyambutku
dengan senyum indahnya dan aku belum
pernah menatap indahnya pagi dikota ini, aku tak pernah bersyukur telah dapat
menginjakan kaki ke kota yang dipenuhi dengan remaja rantauan seperti aku yang
ingin mencuri ilmu disini dan membawaya pulang ke daerah asal masing- masing
untuk diterapkan disana.
Saat itu pun aku
beranjak dari ranjang ku, mengambil handuk dan membersihkan diri, berusaha
menghadapi pagi yang indah ini. Waktu menunjukan pukul tujuh dan aku bersiap
melangkahkan kaki menuruni tangga dan menginjakan kaki ke bumi untuk pertama
kalinya di pagi hari ini. Sejenak terpikir untuk mengurungkan niat untuk
memulai petualangan, tapi keinginan yang kuatlah yang menang.
Mulai kulangkahkan kaki
menyusuri gang kos- kosanku, ku sapa tukang bakso langganan ku, yah memang kota
ini terkenal dengan kota bakso. Sejuk ku rasa udara pagi ini, tapi telah
dirusak dengan pikiranku yang selalu pesimis. Tanpa sadar aku telah berjalan
lebih dari empat kilometer jauhnya dari kos ku.
Seperti biasa aku
bertemu dengan serentetan kuda besi yang saling salip- menyalip diantara mobil-
mobil mewah milik orang berada. Sang pejalan kaki yang sibuk dengan smartphone
di genggamannya, hingga tersandung karena terlalu sibuk tersenyum sembil
menatapnya.
Aku mulai berfikir
sekarang dunia semakin hari semakin aneh saja, banyak manusia yang berbicara
sendiri, tersenyum sendiri, hingga tidak memperhatikan dunia. Meraka hanya
peduli terhadap dunia yang dibuat dari berbagai macam komponen elektrik yang
disambung melalui benda yang ada di atas langit bumi, menciptakan ruang
tersendiri diantara komunitas tertentu, mengenal orang yang tidak pernah
dikenal sebelumnya tapi, menjauh dari orang yang telah lama dikenalnya.
Sambil memandang semua
keganjilan itu, ku melepaskan senyuman ku kepada mereka meski yakin bahwa tidak
ada tanggapan dari mereka yang terlalu sibuk itu. Lelah kaki melangkah,
akhirnya aku duduk di trotoar perempatan jalan yang padat itu tanpa peduli apa
yang akan mereka pikirkan tentangku.
Tuhan memang adil
kataku. Semua Dia ciptakan dengan maksud dan tujuan yang indah, serta disusun
dari oleh skenario kehidupan yang sangat kompeks menurutku, dan hanya Dia lah
yang dapat mensutradarai drama kehidupan tersebut, dengan bantuan malaikat
sebagai kameramennya serta manusia sebagai aktor yang terlibat dalam drama
kehidupan yang kompleks itu. Ada peran antagonis dan protagonis, tanpa ada
pemeran pembantu. Ya mereka menjadi pemeran utama dari alur cerita yang telah
Tuhan tuliskan sebelum mereka di lahirkan di panggung dunia ini.
Hebatnya lagi kita dapat
berimprovisasi dengan skenario yang Dia buat, karena Dia tau bahwa sehebat
apapun kita berimprovisasi, pasti hasil akhirnya akan sama seperti skenario
gubahan-Nya. Ada drama percintaan, dan disaat yang bersamaan ada drama tentang
kerasnya mencari uang, ada drama perjuangan menuntut ilmu, serta berbagai macam
drama yang telah di konsepkan Tuhan di perempatan ini waktu itu.
Dan aku terus
melemparkan senyum mengingat semua pelajaran di pagi ini. Ku beranjak dari
trotoar perempatan itu, dan mulai melangkahkan kaki ke tempat paling nyaman di
perantauan ini.
Aku pun kembali
berhadapan dengan ranjang, meja belajar,
kursi belajarku, lemari pakaian yang sudah miring kekiri, dispenser tanpa air
dan laptop ku. Ku rebahkan kepala keranjang ku. Ku pejamkan mata ku agar dapat
mengusir lelah ku dan menunggu datangnya lelap menjemput.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar